Sejarah
Berikut merupakan pemaparan para ahli tentang
sejarah betawi.
Periode Sebelum Masehi
Sejarah Betawi diawali pada masa zaman batu
yang menurut Sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Sementara
Yahya Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah UI), berpendapat bahwa penduduk
asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa
Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan
mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka
sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.
·
Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan di zaman
sejarah.
·
Kedua, kedatangan penduduk dari luar Nusa
Jawa.
·
Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi
daerah masing-masing.
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa
kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanakacara (abjad bahasa Jawa dan
Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya
sejak zaman dahulu.
Periode Setelah MasehiAbad ke-2
Pada abad ke-2, Menurtut Yahya Andi Saputra
Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang
terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat
kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perda gangan dengan Cina telah maju.
Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.
Abad
ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu
Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap
Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota
kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli
Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di
tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai
Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau
Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut
perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur
itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan
di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara
mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang.
Petani Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan
ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di
sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge
rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira.
Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut
mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Pendu duk mengarak barongan yang
dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel
pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen
laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya
mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak
kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Abad
ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara
ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan
Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan
pemukiman di pesi sir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan
bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan
antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya
dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung
Salak dan Gu nung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting.
Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi
martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut babe. Tetapi ada juga
yang menyebutnya baba, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadra
maut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut nyak atau
umih. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak
bontot.
Abad
ke-10
Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi
persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang
tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan
membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu.
Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari
Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan
Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu
Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial
Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya
mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode
itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya
– karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa
Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di
Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu
orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup
sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu),
bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta
mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan
bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.
Periode Kolonialisasi Eropa
Abad
ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan
Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis
untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah
campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik Keroncong atau dikenal
sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai
pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka
lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak
membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung
praktik perbudakan. Itulah penyebab masih
tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan
perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga
Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa
pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak
dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga
menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia,
Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan
Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga
Dua di daerahkampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini
masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad
ke-20
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan
Cornell University, Amerika, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut
asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of
Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad
19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi
budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya
orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari :
1.
Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673
yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
2.
Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History
of Java pada tahun 1815.
3.
Catatan penduduk pada Encyclopaedia van
Nederlandsch Indie tahun 1893
4.
Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam
keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk
memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19
hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin
tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah
data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang
dilakukan Lance Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya
menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Lance Castles antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MAmemperkirakan, etnis Betawi
baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan
atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan
Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial
Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa
atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari
berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis
Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya
sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda,
orang Sulawesi
Selatan,
orangSumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.
Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke
dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian
terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil
penelitian Lance Castles yakni pada tahun 1977 arkeolog Uka Tjandarasasmita
mengemukakan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman
Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)". Uka memang tidak menyebut
monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah
memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta
dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5.
Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman
neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan
sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung,
Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh
masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu
antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa
Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati,
Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua,
Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan
Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs
itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai
gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal
pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin
telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
Suku
Betawi
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi
yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data
sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk
asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.
Antropolog Universitas Indonesia
lainnya, Prof Dr Parsudi
Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi
pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan
sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat
tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi
sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam
lingkup yang lebih luas, yakni Hindia
Belanda,
baru muncul pada tahun 1923, saatHusni
Thamrin,
tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan
Kaoem Betawi.
Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah
golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi
tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun
oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut
masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah
menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian
dijadikan sebagai bahasa nasional.
Setelah kemerdekaan
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya
setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari
seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal
sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup
kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu.
Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur
ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia
hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu
caranya ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
Dikutip dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar